| |

Seribu Pintu

Mungkin bagi sebagian orang mendatangi tempat wisata akan sangat menyenangkan. Aku pun setuju dengan hal itu. Aku selalu menikmati tempat wisata di daerah-daerah yang aku datangi. Gunung, laut, tempat bersejarah, museum, bahkan rumah makan.

Tapi tidak dengan tempat yang satu ini. Tempat yang bernama Seribu Pintu, bangunan megah dan indah yang memiliki berbagai cerita. Aku datang ke tempat ini dalam rangka liburan. Tidak ada keanehan jika melihat dari luar gedung. Hanya beberapa makhluk berkeliaran di sekitar parkiran. Bukan hal yang penting buatku.

Memasuki gedung awal, aku mulai merasa tidak nyaman. Hall besar di hadapanku, memperlihatkan sisi lain bangunan ini.

Beberapa wanita bergaun putih dengan gaya kolonial Belanda melewatiku. Menyisakan hawa dingin yang mengganggu.

Belum lagi makhluk-makhluk kerdil bermata merah, ditambah telinga lancip mereka. Memandangi rombonganku dengan penuh tanya.

Sampai di lantai berikutnya, anyir darah menyeruak, menusuk sekali baunya. Aku semakin tidak tenang. Di hadapanku banyak sekali mayat-mayat menggantung, penuh luka, bahkan sudah tidak utuh lagi bagian tubuhnya. Tempat itu seperti tempat penjagalan manusia.

Yang tidak mungkin aku lupakan adalah ruangan bawah tanah. Di sana aku bisa melihat banyak tawanan yang dipenjara. Mereka dalam posisi jongkok, hanya kepala mereka yang tidak tertutup air. Suara meminta tolong mulai bergantian terdengar. Mereka semua berjejalan di dalam satu kotak kecil.

Sambil berjalan ke tempat berikutnya, kucium lg aroma amis darah. Kemudian yang kulihat sungguh membuatku kaget. Seorang penjaga menenteng beberapa kepala di tangan mereka. Hanya kepala. Lalu membuang kepala-kepala itu ke dalam sebuah lubang.

Aku sudah tidak tahan lagi, aku hanya ingin segera keluar dari tempat itu. Aku langsung lari keluar tanpa memikirkan rombonganku yang lain.

Saat kulihat lapangan parkir, aku hanya bisa menghela napas panjang. Kemudian gelap.... Aku tidak ingat apa-apa lagi.


| |

Danur - Gerbang Dialog Aku Menuju Dunia Kepenulisan

"Enak nggak sih jadi Indigo? Aku pengin deh jadi Indigo."

Setiap orang yang baru pertama kali kenal aku pasti akan bertanya hal ini. Aku pun harus selalu menjawab pertanyaan mereka, walapun setelahnya aku menghela nafas panjang.

As an Indigo, aku selalu merasa hal ini adalah kutukan. Hal yang tidak mengenakkan selalu jadi kutukan, kan? Sekarang kalian tahu jawabannya, kan? Jika kalian ingin menjadi Indigo, aku akan dengan rela memberikan kemampuanku untuk kalian. 

Aku selalu merasa terbeban sampai suatu kali aku membaca Danur karya Risa Saraswati. Aku punya cerita sendiri tentang buku Danur ini.



Setelah selesai membaca novel ini, aku sempat berpikir, "Enak kali, ya, kalau bisa komunikasi sama roh". Karena sebelumnya aku memang nggak bisa berkomunikasi dengan roh. Sejak kecil, aku hanya bisa melihat mereka, dengan segala bentuk mereka, dan kegiatan mereka. And that's all.

Aku nggak tahu ini ada hubungannya atau nggak. Tapi banyak orang bilang "setiap apa yang kau harapkan dan kau ucapkan itu adalah doa". Singkat cerita, aku mengalami koma karena sakit. Lalu, saat aku sadar, aku bisa mendengar suara seorang suster yang meminta tolong. Voila! Kenapa tiba-tiba aku bisa mendengar suara suster dengan baju penuh darah itu?

Nggak berhenti di situ. Sejak saat itu aku jadi semakin sering berkomunikasi dengan mereka. Aku stress, bisa melihat mereka saja kadang sudah menjadi siksaan bagiku. Karena wujud mereka yang kadang nggak utuh, dan sangat mengganggu penglihatan.

Aku bingung harus cerita kemana. Akhirnya aku pun mencoba untuk menuliskan pengalamanku itu dalam cerita pendek. Aku terinspirasi novel Danur yang ditulis oleh Risa. Aku berpikir, Risa saja bisa menceritakan pengalamannya ke dalam sebuah novel. Masa aku nggak bisa. Lagian kan aku buatnya juga cerpen, bukan novel. 

Setiap aku berkomunikasi dengan mereka, aku akan menuliskannya. Semua orang bisa membacanya dengan bebas di Kaskus. Berbagai komentar, pro dan kontra. Tapi aku nggak peduli, aku merasa lega karena bisa menceritakan pengalamanku.

Sampai suatu saat, ada editor yang mengirimiku pesan. Meminta untuk ceritaku diterbitkan menjadi sebuah novel. Jujur, nggak pernah terpikir sekalipun untuk memasuki dunia kepenulisan. Apalagi sebagai seorang penulis. Aku sempat ragu, aku takut nggak mampu. Tetapi, mas editor meyakinkan bahwa ceritaku itu bagus dan aku pasti bisa menulis.

Proses demi proses terlewat. Akhirnya, aku bisa membukukan curhatanku menjadi sebuah buku. Aku pun berharap, buku yang aku tulis juga bisa menjadi cerita yang bukan hanya menampilkan sisi horor. Tetapi, ada pelajaran yang bisa pembaca dapat saat selesai membaca novelku.

Jika kalian ingin tahu lebih banyak tentang Indigo, datanglah ke acara ini:


Mari bersama menelusuri sisi indah dan kelam dari sebuah kisah persahabatan seorang manusia dengan 'mereka' yang tak kasat mata.

Aku yakin bukan hanya Risa yang ada di sana, tetapi juga sahabat-sahabat kecilnya.



Ada satu kutipan dari Danur yang selalu aku ingat....

“Terima kasih Tuhan, hidupku indah”

| |

#Creepystory (2)

Cerita ini aku tulis berdasarkan gambar yang aku lihat di ask.fm. Aku lupa ask.fm-nya siapa. But, yeah... Please enjoy it.

Sebagai seorang dokter bedah, adalah hal yang wajar jika aku terlibat dalam operasi seseorang demi menyelamatkan nyawa mereka. Wajar pula jika aku menginap di rumah sakit.

Kalian pasti tahu, kan? Rumah sakit selalu menyimpan cerita mistis tersendiri. Ya, bukan hanya rumah sakit. Tetapi setiap tempat memang mempunyai rahasianya sendiri. Begitu juga dengan tempatku bekerja sekarang, tersebar cerita-cerita menyeramkan yang kadang membuat bulu kuduk bisa meremang.

"Dok, nggak pulang hari ini?", tanya Suster Biyan kepadaku.

"Nggak, Sus. Besok dinas pagi, tanggung pulang sekarang."

Aku melirik jam yang ada di tanganku, sudah menunjukkan pukul setengah satu pagi.

"Sekarang hari Selasa, lho, Dok. Hati-hati kalau dengar lagu Belanda malam ini. Jangan sendirian di ruangan." Suster Biyan memperingatkanku.

Di sini, sudah menjadi rahasia umum jika Selasa malam selalu menjadi malam yang menyeramkan. Banyak yang sering mendengar lagu berbahasa Belanda di sekitar koridor rumah sakit atau sekitar halaman belakang.

"Iya, Sus. Hati-hati juga di parkiran ada noni Belanda." jawabku sembari bercanda.

Di parkiran luar rumah sakit memang seringkali terlihat sosok perempuan Belanda dengan gaun putih, berdiri menatap kosong lalu kemudian tertawa melengking dan menyeramkan.

"Ah, Dokter Banyu, nih. Untung saya pulang sama Suster Priska."

Aku pun hanya tersenyum dan melanjutkan perjalanan kembali ke ruanganku.

Kusandarkan kepalaku ke kursi, menarik napas panjang sembari melepaskan jas putihku. Hari yang melelahkan. Aku baru selesai melakukan operasi seorang wanita muda. Beliau kecelakaan dan mengalami pendarahan otak. Sayangnya, Tuhan lebih mengasihinya. Wanita muda itu tidak tertolong lagi, ia meninggal beberapa saat setelah operasi selesai.

Aku sudah berkali-kali menghadapi situasi seperti ini. Tapi.... Rasanya tetap sama. Ada sesak yang tidak bisa kujelaskan mengapa. Risiko pekerjaan ini memang harus kutanggung.

Tanpa kusadari aku tertidur di meja kerjaku, saat kubuka mata kulihat jam sudah menunjukkan pukul 4 lewat. Sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang. Aku pun bergegas mengambil sarung untuk pergi ke lantai paling atas gedung ini. Disanalah mushola yang selalu kugunakan untuk shalat.

"Aduh, ini AC koridor kenapa dingin sekali, ya?" gerutuku saat akan menuju lift.

Kutekan tombol panah keatas dan kutunggu lift terbuka. Ada seorang wanita di sana. Dia memakai baju pasien rumah sakit ini, piyama lengan panjang berwarna biru dengan aksen garis putih di bagian tangan dan kerahnya, tetapi sudah tidak memakai infus.

Tunggu dulu.... Sepagi ini? Tidak ada perawat yang menemani? Ah, aku tidak mau berpikir aneh-aneh. Mungkin dia sedang bosan, atau baru kembali dari laboratorium. Kulihat juga dia sudah cukup sehat untuk berjalan sendiri.

Aku tersenyum lalu berdiri di sampingnya. Menanti lantai demi lantai yang akan kami lewati. Semerbak harum bunga memenuhi lift yang kecil itu secara tiba-tiba. Aku pun merasa bulu di leher belakangku meremang, menjalar ke punggung dan menetap.

Kulirik pasien perempuan di sampingku. Tetapi dia sepertinya tidak merasakan keanehan itu.

Saat lift tiba di lantai 3, pintunya terbuka. Mataku langsung terbelalak, nafasku serasa tercekat, kulihat seorang wanita muda berdiri di sana, menatap kosong ke depan. Aku melihat gelang abu-abu di tangannya. Gelang yang kupasangkan saat jantungnya sudah tak lagi berdetak di ruang operasi tadi. Aku tidak mungkin lupa wajahnya.

Dengan napas yang masih memburu karena terkejut, aku langsung memencet tombol untuk menutup pintu lift, mengatur napasku sampai kembali normal.

"Dok, kenapa perempuan itu nggak boleh masuk?"

Aku baru sadar di sampingku ada pasien perempuan yang sejak tadi bersamaku. Aku pun menjawab dengan cepat.

"Perempuan itu yang meninggal saat saya melakukan operasi tadi malam. Ada gelang abu-abu yang saya pasangkan. Menandakan dia itu sudah meninggal".

Wanita itu tersenyum kepadaku, lalu kembali menatap ke depan sambil mengangkat tangan kanannya dan berkata....

"Maksud dokter gelang seperti ini?".


| |

#Creepystory (1)

Bagiku, rumah sakit merupakan salah satu tempat yang menyeramkan. Tapi, karena sejak kecil aku sering keluar masuk rumah sakit. Aku pun mulai terbiasa dengan keberadaan 'mereka' disana. Aku memang bisa melihat makhluk yang orang bilang tak kasat mata, dan kalian pasti tahu hubungan erat rumah sakit dengan 'mereka'. 

Siapa yang tidak bosan jika berada di rumah sakit? Kalian pernah mengalaminya juga, kan? Saat dimana sudah mulai pulih, namun belum diizinkan pulang ke rumah karena serangkaian tes lain. Ya, aku sering mengalaminya. Ketika suatu malam aku belum bisa tidur, aku pun berjalan-jalan ke lobi rumah sakit. Ya... Ya... Kuakui aku memang sangat bosan dan bingung harus mengerjakan apa. Akhirnya aku pun duduk di lobi rumah sakit yang sudah sangat sepi. Sekadar membuka aplikasi di handphone sampai main game. 

Entah darimana datangnya, tiba-tiba ada seorang bapak setengah baya duduk disampingku. Kami berjarak dua kursi. Bapak itu hanya diam. Kalian tahu baju rumah sakit yang seperti daster? Setahuku, baju itu biasa digunakan saat akan masuk ruang operasi. Nah, si bapak memakai baju itu. Berwarna hijau dan sudah terlihat agak memudar. Tatapan matanya kosong menghadap meja resepsionis, rambutnya hampir semua tertutup uban, wajahnya pun pucat. 

Jam di dinding rumah sakit sudah menunjukkan pukul setengah satu malam. Di belakangku hanya ada penjaga admin yang sedang nonton tv dan tidak terlalu memperhatikan kami. Aku pun bertanya kepada bapak tua itu.

"Pak, jam segini masih di luar. Nggak bisa tidur juga, ya?"

"Iya, de." Bapak itu menjawab tanpa menoleh kepadaku. Hanya jawaban singkat itu yang aku dapat.

"Nggak balik aja ke kamar, pak?" tanyaku lagi padanya.

"Saya udah nggak di kamar lagi. Mari, de, saya balik ke ruangan saya." Bapak itu beranjak dari tempat duduknya.

Aku pun memikirkan kata-katanya. Bagaimana mungkin dia tidak dirawat di kamar? Atau mungkin dia dari IGD? Karena penasaran, aku mengikuti bapak itu perlahan-lahan.

Apakah kalian bisa menebak kemana dia pergi? Ya.... Aku memperhatikan bapak itu memasuki kamar mayat dari jauh. Ia membuka pintunya perlahan-lahan dan masuk kesana. Penjaga kamar yang duduk di depan pintu tidak bergeming sama sekali.

Aku menghampiri penjaga kamar mayat. "Pak, nggak lihat ada bapak-bapak yang masuk sini?"

"Ah, nggak ada orang daritadi, mbak."

Seketika itu juga aku merasa bulu kudukku meremang.

"Mbak, bapak-bapaknya seperti apa?" tanya penjaga kamar itu.

"Pakai baju hijau, rambutnya sudah hampir putih semua. Badannya juga kurus dan wajahnya pucat." Suaraku agak bergetar. Perasaanku sangat tidak enak.

"Sini, mbak." Penjaga itu membuka pintu kamar mayat dan menggiringku masuk.

Ada tiga mayat yang tertutup kain disana. Dia pun membuka kain penutup mayat yang paling kiri.

"Ini atau bukan?" tanyanya.

Aku membelalak, itu.... adalah bapak yang duduk di sampingku di lobi tadi. Terbujur kaku dengan mata tertutup dan baju hijau yang sama.

"I... I... Iya, mas." Aku terbata-bata. Jantungku seketika berdegup lebih cepat. Dingin langsung terasa sangat menusuk tubuhku.

"Mari, mbak. Kita keluar."

Aku seperti terpaku disana. Sampai si penjaga itu menepuk pundakku dan memapahku keluar dari sana.

"Maaf, ya, Mbak. Disini memang kadang seperti itu. Ada saja yang mengganggu. Ayo, saya antar ke kamar."

Penjaga kamar itu pun mengantarku ke kamar. Aku terlalu lemas untuk mengucapkan terima kasih kepadanya.

Saat aku sudah berbaring, kulihat penjaga kamar itu menembus pintu dan menghilang.

| |

BOCAH HITAM


Cerita ini bermula saat aku masih anak-anak. Saat itu aku masih kecil dan masih duduk di kelas empat sekolah dasar. Pada saat itu umurku baru sepuluh tahun. Walaupun aku merupakan orang yang sulit mengingat kejadian pada masa kecil, ada beberapa peristiwa yang masih tertanam di ingatan ku. Salah satu ceritanya, akan aku coba ceritakan sekarang.
--=--
Siang menjelang sore. Pukul 15.00  WIB
Aku baru sampai di depan di rumah setelah mengayuh sepeda merah milikku, menembus teriknya matahari sepulang sekolah. Sepeda memang menjadi transportasi andalanku saat itu -bahkan sampai aku duduk di sekolah menengah atas-. Jarak antara sekolah dengan rumahku memang tidak terlalu jauh, bisa di tempuh dengan bersepeda atau berjalan kaki selama kurang lebih lima belas menit. Saat itu, aku memang tidak pulang pukul dua belas seperti mayoritas sekolah negeri, karena aku memang tidak bersekolah di sekolah negeri. Aku menuntut ilmu di sekolah swasta milik sebuah yayasan pendidikan yang menyediakan layanan pendidikan dari TK sampai SMA/SMK dan SLB di wilayah Jakarta Timur. Ketika tiba di rumah, jam sudah menunjukkan pukul tiga sore.
Aku masuk dan memarkirkan sepeda di teras rumah. Rumahku terlihat sepi, biasanya jam segini hanya ada ibuku di rumah. Udara siang ini lumayan panas, aku langsung membuka sepatu dan kaus kaki yang aku kenakan, lalu berjalan menyusuri ruang tamu menuju bagian belakang rumahku. Ternyata benar, hanya ibuku yang ada di rumah. Ayahku masih bekerja, dan kedua kakakku belum pulang dari sekolah dan kampusnya. Seperti biasanya, aku meletakkan sepatuku di anak tangga yang terbuat dari besi dengan cat warna biru muda yang mulai pudar. Tak lupa aku juga menaruh tas ku di depan laci buku yang tak jauh dari tangga tersebut.
Kemudian langkah kakiku yang sedikit lunglai menuntunku ke lemari dua pintu berwarna coklat muda dengan ukuran sedang. Aku segera mengganti bajuku yang basah karena keringat. Setelah itu, aku bersantai di depan televisi di ruang keluarga. Aku menyalakannya dan mengubah tayangannya ke acara kesukaanku, kartun. Aku duduk dan menikmati angina yang berhembus dari kipas yang berputar di atas kepalaku. Entah hanya perasaanku saja, atau memang benar adanya. Sepertinya angin yang berhembus dari kipas lebih dingin dari biasanya, sangat sejuk dan melepaskan udara yang begitu panas. Tidak ada yang istimewa saat itu. Aktivitas ku mungkin sama dengan kebanyakan anak seumuranku, bersantai-santai di depan televisi setelah berlelah-lelah di sekolah.
Hampir satu jam aku menghabiskan waktu menonton acara di televisi. Aku mulai kehilangan konsentrasi terhadap tontonanku karena perutku mulai tidak bisa diajak kompromi, aku lapar. Aku menuju dapur untuk melihat makanan yang tersedia. Aku mengambil piring dan sendok, lalu mengambil nasi secukupnya. Tidak lupa dengan sayur dan lainnya, ikut aku gabungkan bersama nasi di piring yang aku pegang. Sekilas aku melihat sekelebat bayangan hitam yang lewat dari tembok. Aku langsung menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang lewat. Namun, aku tidak melihat apa-apa. Hanya ada kursi di meja makan yang kosong dan sedikit keluar. Padahal biasanya ibu selalu merapikan kursi hingga rapat dengan mejanya ketika tidak dipakai.
“Bu, tumben sih kursinya nggak rapi.” Sahutku dari dapur.
Ibu yang sedang mencuci piring di wastafel pun menjawab, “Siapa yang bikin berantakan? Tadi sudah ibu bereskan.”
Aku pun tidak menggubrisnya lagi. Mungkin saja memang saat ibu membereskannya tidak terlalu rapat ke meja.
Selesai aku mengambil makanan, aku kembali ke depan televisi untuk makan dan juga melanjutkan kegiatanku sebelumnya, menonton tv. Ya, memang sudah kebiasaanku sejak kecil untuk menghabiskan makanan di depan televisi sambil menonton. Aku tidak terlalu suka dengan suasana ruang makan yang remang dan dingin. Aku selalu merasa diperhatikan jika sedang berada di sana.

Pukul 16:00 WIB
“De, Ibu ke rumah Bu Mardi sebentar ya. Kamu nggak kemana-mana kan?” Tanya ibu yang sudah rapi dengan bajunya.
“Ibu mau arisan?”
“Ya. Di rumah Bu Mardi. Kalau ada apa-apa tinggal teriak saja ke samping.”
Aku pun hanya mengangguk. Satu bulan sekali memang selalu ada arisan di komplek perumahanku. Setelah ibu pergi, rumah menjadi sepi. Sayup-sayup kudengar suara ibu-ibu yang sedang bersenda gurau dari luar. Sepertinya mereka belum masuk ke dalam rumah, jadi masih ngobrol di luar rumah dan terdengar sampai kesini. Aku kembali tidak menghiraukannya, aku memang sudah sering sendiri di rumah. Aku  pun melanjutkan tontonanku.
Karena sudah selesai makan, aku pun mengambil bantal besar dan merebahkan tubuhku di atas karpet. Aku baru ingat, setelah makan tadi aku belum minum sama sekali. Aku pun beranjak dari dari pembaringanku menuju kulkas kecil yang umurnya lebih tua dariku. Ya, kulkas itu memang dibeli pada saat kakakku yang kedua baru saja lahir. Terletak di bagian belakang rumah, dekat tangga dan laci bukuku. Aku membukanya, mengambil sebotol air yang ada di sana lalu menutup kembali pintu kulkasnya. Aku kemudian membuka botol tersebut, masih di depan kulkas, dan meminumnya sambil menghadap ke arah ruang keluarga. Beberapa teguk air masuk ke kerongkonganku dan membasahinya. Ah, leganya. Rasa hausku hilang sudah.
Aku masih beberapa kali menenguk air dari dalam botol. Saat aku masih menempelkan mulutku di kepala botol untuk minum, aku melihat sesosok bocah kecil turun dari tangga. Seluruh badannya hitam, seperti siluet, dan kepalanya bulat tidak berambut. Dia bergerak dari lantai dua menyusuri tangga menuju lantai satu. Sosok itu menuju ke arah dapur rumahku yang letaknya ada di seberang tangga. Pergerakannya sangat cepat, tetapi pasti, lalu menghilang di balik tembok.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Aku langsung berlari menuju dapur, meyakinkan diriku bahwa memang anak kecil itu ada disana. Tetapi ternyata tiidak ada siapa pun di dapur. Aku mengecek kamar mandi yang ada di sebelah dapur. Sama kosong dan sepinya seperti keadaan dapur. Rasa dingin langsung menjalari tengkukku, aku merinding ketika kembali membayangkan sosok bocah kecil berbadan hitam itu. Aku sangat ketakutan dan berlari dengan kecepatan penuh keluar rumah. Aku merasa lega, karena aku melihat beberapa ibu-ibu yang masih berkumpul di depan rumah. Tetapi, aku tak berani bercerita kepada siapa-siapa, aku takut apa yang tadi aku lihat hanyalah ilusi.

Lima tahun kemudian.
Usiaku terus bertambah dan tidak ada perkembangan yang mencolok dengan peristiwa yang aku alami saat kecil. Aku masih seringkali melihat sosok bayangan hitam yang melesat cepat dari arah tangga ke dapur. Tetapi, aku tidak menghiraukannya. Aku tumbuh dengan tetap menyimpan kisah tentang bocah hitam itu rapat-rapat. Aku tidak tahu siapa dia dan darimana datangnya bocah hitam itu. Selama dia tidak menggangguku, aku akan berusaha untuk tetap tenang.
Hal-hal yang berkaitan tentang pengalaman ku waktu kecil, masih belum aku dapatkan kepastiannya. Sejak kejadian itu sosok bocah hitam itu kadang muncul di mimpi-mimpi yang aku alami yang membuat aku semakin penasaran. Aku memang lebih sering mendengar teman-temanku bercerita tentang pengalaman mereka dengan dunia lain, atau cerita mereka tentang penampakan-penampakan yang terjadi. Tak jarang juga aku mendengar cerita mereka tentang pengalaman orang lain tentang dunia yang tak kasat mata. Ada pula cerita tentang mereka yang melakukan perjalanan di dunia mimpi. Orang-orang sering menyebutnya dengan proyeksi astral.
Ketika hendak lulus dari SMK. Aku mendapatkan sebuah informasi tentang buku yang bercerita tentang mereka yang tak kasat mata. Buku itu ditulis oleh seorang yang bertalenta khusus dan memang memiliki kelebihan untuk berinteraksi dengan mereka. Selama ini aku hanya membaca dan mencari informasi tentang mereka lewat internet, tidak lebih. Aku memang bukan tipe orang yang senang membeli buku, tapi kali ini lain, ada perasaan yang mendorong aku untuk membeli buku ini. Aku tertarik untuk membelinya, ya, My Creepy Diary.
Singkat kata, aku membeli buku itu di toko buku dekat rumah, dan  mulau membuka-buka buku tersebut. Aku membacanya buku itu terus menerus karena penasaran. Awalnya, beberapa kisah membuat bulu kudukku berdiri. Aku  baru tahu, ada kisah lain tentang mereka yang aku lihat dari sudut pandang penulis. Apa yang diceritakan oleh si penulis jauh berbeda dengan apa yang aku baca selama ini, yang mengatakan kalau mereka adalah jin, ruh jahat, dan sebagainya. Banyak penjelasan yang menceritakan bahwa mereka bias mencelakai manusia, bahkan sampai membunuh manusia. Tetapi lewat novel itu, pemahaman ku tentang mereka yang tak kasat ini mulai berubah. Aku tidak pernah memungkiri keberadaan mereka Namun, aku baru tahu ternyata mereka tidak seseram dan tidak mengerikan seperti apa yang aku baca selama ini.
Kini dalam pikiranku sudah berbeda, mereka tidak seperti apa yang aku baca selama ini. Dulu, aku menganggap mereka hanya sebagai bagian dari kehidupan ini, yang tidak lebih dari sosok yang berusaha menjatuhkan keimanan dengan penampakan dan cerita mistis yang mengikutinya. Kini, aku memahami mereka sebagai sosok yang hanya ingin pulang dan ingin tenang, tidak lebih. Mereka sebenarnya tidak ingin terus berada di dunia ini, dan berkeliaran di lokasi-lokasi ketika mereka masih hidup. Mereka tidak menginginkan itu. Soal manusia yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Menurutku itu pun karena ulah manusia itu sendiri yang mengusik dan mengganggu mereka. Seharusnya mereka bisa pergi dengan tenang, tetapi mereka belum bisa pergi karena masih terikat dengan kerabat yang masih hidup, atau yang belum ikhlas dengan kepergiannya. Belum lagi masalah-masalah yang mereka hadapi dan memang belum selesai semasa mereka hidup dulu. Aku bahkan malah merasa kasihan terhadap mereka.
Sisi lain kehidupan mereka pun menjadi pelajaran berarti bagiku. Aku mulai belajar dari kisah mereka, yang hidup sebelum aku. Aku bahkan berterima kasih kepada penulisnya, yang berhasil mengubah pemikiranku dan menyampaikan pesan moral dari mereka kepadaku. Aku bahkan tidak perlu meminta untuk bisa melihat mereka. Aku cukup mendengar, membaca dan menyimpulkannya, dari cerita. Ya, karena aku mungkin tidak akan pernah siap untuk itu. Tidak akan pernah siap jika aku harus mengalami kejadian sama seperti yang dialami oleh penulis novel tersebut.
Aku pun mendapatkan pelajaran lain, bahwa Tuhan itu Maha Asik, selalu menuntun anak-anakNya dengan cara yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Seperti halnya penulis  novel yang kubaca itu, yang mungkin dituntun Tuhan dengan cara yang tidak biasa. Mendapatkan pelajaran dari apa yang kita anggapp sudah tidak hidup lagi. Padahal nyatanya mereka ada. Apa salahnya kita mulai lebih mendekatkan diri kepadaNya agar diberikan kemampuan untuk lebih bijaksana dalam menyikapi kehidupan? Kehidupan memang tidak pernah lepas dari kesalahan. Kehidupan memang tidak selalu lurus, dan sangat penuh dengan liku. Kehidupan memang tidak semulus bayangan kita, tapi alangkah jika kita selalu belajar dari pengalaman pribadi dan orang lain untuk membuat rangka masa depan yang lebih baik. Agar pada saatnya hidup kita harus berakhir, kita bisa tenang karena memang tugas kita di dunia ini sudah selesai.




Nama               : Eljuno T. A. Kasih
Twitter                        : @eljuno_
Facebook         : Eljuno Kasih (facebook.com/RevrentCrew.UNO)
Blog                : eljunoak.wordpress.com

| |

'Thanks To' yang tertinggal....

Oke! Berhubung di Creepy Diary 2 nggak ada halaman khusus buat ucapan terima kasih. Izinkanlah sekarang aku mengucapkan terima kasih di sini, untuk orang-orang yang sangat berjasa dalam pembuatan Creepy Diary 2.

*sambil pegang Creepy Diary 2 dan mata berkaca-kaca*

Aku nggak akan berterima kasih kepada Tuhan seperti kebanyakan orang-orang. Karena aku tahu, tanpa Dia aku nggak akan bisa jadi seperti sekarang. Jalan hidup yang Dia tuliskan untuk aku terlalu indah. Jadi untuk yang pertama, aku selalu akan mengucapkan terima kasih untuk keluarga. Mama, Papa, Uto, Rudi, Deni dan ade Bhita yang selalu senang namanya ada di ucapan terima kasihku. Ade Oo nun jauh di sana yang semangat banget promosiin buku aku. Nggak lupa juga keluarga besar yang buanyaaaak dan nggak mungkin aku sebutkan satu per satu.

Buat para sahabat yang selalu ada di saat dibutuhkan. Chika, ade sepermainan yang kurang ajar (if you know what I mean). Mba Oi yang selalu marah-marah dan nyebelin. Laoshi Lily yang memberikan pandangan baru tentang 'mereka'. Teman-teman di KOMPA GKPO Ambarapura Kodau V, teman-teman di Unity School, murid-murid kesayangan yang selalu 'baik' dan 'menyenangkan'. Dan semua teman yang nggak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas supportnya. You are all AWESOME!

Teman-teman di socmed yang selalu memberi bantuan tanpa diminta. Mas Angga, Widya, Mas Pluk, Riwis, Mas Dym, Myo, Mae, siapa lagi ya? Semuanya lah pokoknya. Terima kasih untuk support yang tidak berbatas. Someday, we will meet each other. 

Yang terpenting di dalam dunia menulisku. Tim Bukune, Mas Edo terima kasih atas kesabarannya menunggu proses yang naik turun. Mas Fial yang sudah membantu bikin outline dan jadi proof reader. Duo mungil, Teteh Gigitz dan Irene, buku yang ada 'kalian'nya itu selalu keren. Mba Eve yang sudah membuat Creepy Diary 2 menjadi lebih creepy karena ilustrasi yang luar biasa. Elly, Funy dan Mba Evi yang rela menemani tanda tangan dan jalan-jalan seram ke gudang. Semua yang duduk manis di Montong 57, Mba Iwied, Mba Gita, Teh Michi, Mas Landi, Om Em, dan siapa lagi ya? Semuanya lah pokoknya. Terima kasih atas support dan semangat yang selalu ditularkan kepadaku yang bukan apa-apa tanpa kalian. *hiks hiks*

First reader-nya akuuuuhh. Si cantik berpipi gembil Odet Rahma, dan manusia setengah hantu Ade. Terima kasih atas kritik dan saran kalian sehingga Creepy Diary 2 lebih keren dari sebelumnya. *kiss kiss*

Buat pembaca yang sudah rela menyisihkan uangnya untuk beli buku Creepy Diary 2. Kalian luar biasaaaaaa. Tolong semangati aku terus yaaa! 

Untuk yang nggak mungkin aku sebutkan satu persatu, atau kelupaan. Marahin aja akunya, nanti aku edit ucapan terima kasih ini. Hahahaha...

Dan yang paling terakhir, tetapi selalu jadi yang pertama di hatiku. Seorang yang rela menghabiskan seluruh harinya bersamaku. Seorang yang selalu ada saat aku butuhkan. Seorang yang selalu menjadi sahabat yang baik, bahkan musuh yang tangguh, perawat yang baik dan kekasih yang selalu mengasihi. My only one Baby Brown, kesayangan aku, ayo kita selesaikan buku ketiga, keempat, kelima sampai ke seratus sama-sama. Pokoknya sama-sama, ya! You know how blessed I am to have you in my life, Mas.




Regards,



Ayumi Chintiami


| |

LAHIRNYA ANAK KEDUA

Woaaaahh, been so long nggak update blog ini! Mari kita membahas buku kedua.

Setelah perjuangan yang panjang (serius panjang banget). Segala macam kejadian yang sempat bikin down dan nggak mau nulis lagi. Akhirnyaaaaaa! 






Anak kedua aku lahir juga! Yak. Creepy Diary 2 siap menghantui kalian bulan ini! Ceritanya masih seputar Diary Seorang Gadis Indigo (ciee, gadis). Cerita tentang perjalanan dan pertemuan Ayumi dengan 'teman2nya' serta kisah mereka semasa hidup. Yang mau tahu beberapa tempat seram di Indonesia ada di buku ini. Yah, walaupun hanya di beberapa kota sih. 

Museum Bank Mandiri, Stasiun Cirebon dan daerah sekitar Cirebon, Lawang Sewu, sampai Gua Pindul dan jajaran pantai di Gunung Kidul jadi saksi perjalanan Ayumi di buku Creepy Diary 2. Soal halangan-halangan yang terjadi selama penulisan buku ini? Jangan khawatir, di buku ini juga dijelaskan segala perjuangan Ayumi saat membuat buku. Belum lagi penglihatan-penglihatan dan pengalaman 'jalan-jalan' Ayumi yang..... Hm..... Aku sih bilangnya lumayan mengerikan. Jadi, siapkan hati dan mata kalian untuk terus dan terus membaca Creepy Diary 2 tanpa berhenti. Dan jangan kaget kalau tiba-tiba pas buka halaman ada penampakan di dalam buku ini. Belum lagi harumnya buku ini. Katanya sih...... bisa mengundang 'mereka' untuk ikut baca sama kamu, lho. Hihihihi....

Ayo deh segera ke toko buku terdekat! Selamat merinding!




"Mereka ada di sekitarmu....."

| |

Nimbrung Di Buku Kedua

Selamat pagi/siang/sore/malam semuanyaaaaaa. Dengan datangnya post ini di blogku, aku ingin mengumumkan sesuatu yang penting. Sangat penting!

Tahun depan aku akan launching buku kedua. Dan aku mau kamu, kamu, kamu... Eh, kamu yang disana juga! Terlibat di buku kedua aku. Jadi intinya sih ya, aku pengen kalian ada di buku aku. Tepatnya cerita kalian. Aku mau minta kalian kirim cerita (yang paling) horor di hidup kalian ke EMAIL aku : ayumi.chintiami@gmail.com dengan SUBJECT : Nimbrung Di Buku Kedua.

Syarat ceritanya adalah :
- Diketik rapi di MS. Word dengan font Times New Roman, ukuran fontnya 12pt, di kertas A4, minimal 4 halaman.
- Ceritakan pengalaman horor kalian, dan pelajaran apa yang kalian dapat setelah membaca My Creepy Diary.
- Cerita harus ASLI pengalaman kalian pribadi, bukan cerita orang lain, apalagi nyontek cerita orang lain.
- Jangan lupa tulis biodata kalian, nama, no. telp, akun twitter, akun FB dan blog di email yang kalian kirim.
- Cerita kalian aku tunggu sampai tanggal 10 Januari 2014.

Jangan lupa konfirmasi di twitter (@AyumiChintiami) atau facebook (Ayumi Chintiami) kalau kalian udah ngirim ceritanya. Cerita yang paling seram, mistis dan menarik akan aku masukkan ke buku keduaku. 

Ditunggu loh! Tiada kesan tanpa ceritamu di buku keduaku. ^_^



Back To Top