| |

BOCAH HITAM



Cerita ini bermula saat aku masih anak-anak. Saat itu aku masih kecil dan masih duduk di kelas empat sekolah dasar. Pada saat itu umurku baru sepuluh tahun. Walaupun aku merupakan orang yang sulit mengingat kejadian pada masa kecil, ada beberapa peristiwa yang masih tertanam di ingatan ku. Salah satu ceritanya, akan aku coba ceritakan sekarang.
--=--
Siang menjelang sore. Pukul 15.00  WIB
Aku baru sampai di depan di rumah setelah mengayuh sepeda merah milikku, menembus teriknya matahari sepulang sekolah. Sepeda memang menjadi transportasi andalanku saat itu -bahkan sampai aku duduk di sekolah menengah atas-. Jarak antara sekolah dengan rumahku memang tidak terlalu jauh, bisa di tempuh dengan bersepeda atau berjalan kaki selama kurang lebih lima belas menit. Saat itu, aku memang tidak pulang pukul dua belas seperti mayoritas sekolah negeri, karena aku memang tidak bersekolah di sekolah negeri. Aku menuntut ilmu di sekolah swasta milik sebuah yayasan pendidikan yang menyediakan layanan pendidikan dari TK sampai SMA/SMK dan SLB di wilayah Jakarta Timur. Ketika tiba di rumah, jam sudah menunjukkan pukul tiga sore.
Aku masuk dan memarkirkan sepeda di teras rumah. Rumahku terlihat sepi, biasanya jam segini hanya ada ibuku di rumah. Udara siang ini lumayan panas, aku langsung membuka sepatu dan kaus kaki yang aku kenakan, lalu berjalan menyusuri ruang tamu menuju bagian belakang rumahku. Ternyata benar, hanya ibuku yang ada di rumah. Ayahku masih bekerja, dan kedua kakakku belum pulang dari sekolah dan kampusnya. Seperti biasanya, aku meletakkan sepatuku di anak tangga yang terbuat dari besi dengan cat warna biru muda yang mulai pudar. Tak lupa aku juga menaruh tas ku di depan laci buku yang tak jauh dari tangga tersebut.
Kemudian langkah kakiku yang sedikit lunglai menuntunku ke lemari dua pintu berwarna coklat muda dengan ukuran sedang. Aku segera mengganti bajuku yang basah karena keringat. Setelah itu, aku bersantai di depan televisi di ruang keluarga. Aku menyalakannya dan mengubah tayangannya ke acara kesukaanku, kartun. Aku duduk dan menikmati angina yang berhembus dari kipas yang berputar di atas kepalaku. Entah hanya perasaanku saja, atau memang benar adanya. Sepertinya angin yang berhembus dari kipas lebih dingin dari biasanya, sangat sejuk dan melepaskan udara yang begitu panas. Tidak ada yang istimewa saat itu. Aktivitas ku mungkin sama dengan kebanyakan anak seumuranku, bersantai-santai di depan televisi setelah berlelah-lelah di sekolah.
Hampir satu jam aku menghabiskan waktu menonton acara di televisi. Aku mulai kehilangan konsentrasi terhadap tontonanku karena perutku mulai tidak bisa diajak kompromi, aku lapar. Aku menuju dapur untuk melihat makanan yang tersedia. Aku mengambil piring dan sendok, lalu mengambil nasi secukupnya. Tidak lupa dengan sayur dan lainnya, ikut aku gabungkan bersama nasi di piring yang aku pegang. Sekilas aku melihat sekelebat bayangan hitam yang lewat dari tembok. Aku langsung menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang lewat. Namun, aku tidak melihat apa-apa. Hanya ada kursi di meja makan yang kosong dan sedikit keluar. Padahal biasanya ibu selalu merapikan kursi hingga rapat dengan mejanya ketika tidak dipakai.
“Bu, tumben sih kursinya nggak rapi.” Sahutku dari dapur.
Ibu yang sedang mencuci piring di wastafel pun menjawab, “Siapa yang bikin berantakan? Tadi sudah ibu bereskan.”
Aku pun tidak menggubrisnya lagi. Mungkin saja memang saat ibu membereskannya tidak terlalu rapat ke meja.
Selesai aku mengambil makanan, aku kembali ke depan televisi untuk makan dan juga melanjutkan kegiatanku sebelumnya, menonton tv. Ya, memang sudah kebiasaanku sejak kecil untuk menghabiskan makanan di depan televisi sambil menonton. Aku tidak terlalu suka dengan suasana ruang makan yang remang dan dingin. Aku selalu merasa diperhatikan jika sedang berada di sana.

Pukul 16:00 WIB
“De, Ibu ke rumah Bu Mardi sebentar ya. Kamu nggak kemana-mana kan?” Tanya ibu yang sudah rapi dengan bajunya.
“Ibu mau arisan?”
“Ya. Di rumah Bu Mardi. Kalau ada apa-apa tinggal teriak saja ke samping.”
Aku pun hanya mengangguk. Satu bulan sekali memang selalu ada arisan di komplek perumahanku. Setelah ibu pergi, rumah menjadi sepi. Sayup-sayup kudengar suara ibu-ibu yang sedang bersenda gurau dari luar. Sepertinya mereka belum masuk ke dalam rumah, jadi masih ngobrol di luar rumah dan terdengar sampai kesini. Aku kembali tidak menghiraukannya, aku memang sudah sering sendiri di rumah. Aku  pun melanjutkan tontonanku.
Karena sudah selesai makan, aku pun mengambil bantal besar dan merebahkan tubuhku di atas karpet. Aku baru ingat, setelah makan tadi aku belum minum sama sekali. Aku pun beranjak dari dari pembaringanku menuju kulkas kecil yang umurnya lebih tua dariku. Ya, kulkas itu memang dibeli pada saat kakakku yang kedua baru saja lahir. Terletak di bagian belakang rumah, dekat tangga dan laci bukuku. Aku membukanya, mengambil sebotol air yang ada di sana lalu menutup kembali pintu kulkasnya. Aku kemudian membuka botol tersebut, masih di depan kulkas, dan meminumnya sambil menghadap ke arah ruang keluarga. Beberapa teguk air masuk ke kerongkonganku dan membasahinya. Ah, leganya. Rasa hausku hilang sudah.
Aku masih beberapa kali menenguk air dari dalam botol. Saat aku masih menempelkan mulutku di kepala botol untuk minum, aku melihat sesosok bocah kecil turun dari tangga. Seluruh badannya hitam, seperti siluet, dan kepalanya bulat tidak berambut. Dia bergerak dari lantai dua menyusuri tangga menuju lantai satu. Sosok itu menuju ke arah dapur rumahku yang letaknya ada di seberang tangga. Pergerakannya sangat cepat, tetapi pasti, lalu menghilang di balik tembok.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Aku langsung berlari menuju dapur, meyakinkan diriku bahwa memang anak kecil itu ada disana. Tetapi ternyata tiidak ada siapa pun di dapur. Aku mengecek kamar mandi yang ada di sebelah dapur. Sama kosong dan sepinya seperti keadaan dapur. Rasa dingin langsung menjalari tengkukku, aku merinding ketika kembali membayangkan sosok bocah kecil berbadan hitam itu. Aku sangat ketakutan dan berlari dengan kecepatan penuh keluar rumah. Aku merasa lega, karena aku melihat beberapa ibu-ibu yang masih berkumpul di depan rumah. Tetapi, aku tak berani bercerita kepada siapa-siapa, aku takut apa yang tadi aku lihat hanyalah ilusi.

Lima tahun kemudian.
Usiaku terus bertambah dan tidak ada perkembangan yang mencolok dengan peristiwa yang aku alami saat kecil. Aku masih seringkali melihat sosok bayangan hitam yang melesat cepat dari arah tangga ke dapur. Tetapi, aku tidak menghiraukannya. Aku tumbuh dengan tetap menyimpan kisah tentang bocah hitam itu rapat-rapat. Aku tidak tahu siapa dia dan darimana datangnya bocah hitam itu. Selama dia tidak menggangguku, aku akan berusaha untuk tetap tenang.
Hal-hal yang berkaitan tentang pengalaman ku waktu kecil, masih belum aku dapatkan kepastiannya. Sejak kejadian itu sosok bocah hitam itu kadang muncul di mimpi-mimpi yang aku alami yang membuat aku semakin penasaran. Aku memang lebih sering mendengar teman-temanku bercerita tentang pengalaman mereka dengan dunia lain, atau cerita mereka tentang penampakan-penampakan yang terjadi. Tak jarang juga aku mendengar cerita mereka tentang pengalaman orang lain tentang dunia yang tak kasat mata. Ada pula cerita tentang mereka yang melakukan perjalanan di dunia mimpi. Orang-orang sering menyebutnya dengan proyeksi astral.
Ketika hendak lulus dari SMK. Aku mendapatkan sebuah informasi tentang buku yang bercerita tentang mereka yang tak kasat mata. Buku itu ditulis oleh seorang yang bertalenta khusus dan memang memiliki kelebihan untuk berinteraksi dengan mereka. Selama ini aku hanya membaca dan mencari informasi tentang mereka lewat internet, tidak lebih. Aku memang bukan tipe orang yang senang membeli buku, tapi kali ini lain, ada perasaan yang mendorong aku untuk membeli buku ini. Aku tertarik untuk membelinya, ya, My Creepy Diary.
Singkat kata, aku membeli buku itu di toko buku dekat rumah, dan  mulau membuka-buka buku tersebut. Aku membacanya buku itu terus menerus karena penasaran. Awalnya, beberapa kisah membuat bulu kudukku berdiri. Aku  baru tahu, ada kisah lain tentang mereka yang aku lihat dari sudut pandang penulis. Apa yang diceritakan oleh si penulis jauh berbeda dengan apa yang aku baca selama ini, yang mengatakan kalau mereka adalah jin, ruh jahat, dan sebagainya. Banyak penjelasan yang menceritakan bahwa mereka bias mencelakai manusia, bahkan sampai membunuh manusia. Tetapi lewat novel itu, pemahaman ku tentang mereka yang tak kasat ini mulai berubah. Aku tidak pernah memungkiri keberadaan mereka Namun, aku baru tahu ternyata mereka tidak seseram dan tidak mengerikan seperti apa yang aku baca selama ini.
Kini dalam pikiranku sudah berbeda, mereka tidak seperti apa yang aku baca selama ini. Dulu, aku menganggap mereka hanya sebagai bagian dari kehidupan ini, yang tidak lebih dari sosok yang berusaha menjatuhkan keimanan dengan penampakan dan cerita mistis yang mengikutinya. Kini, aku memahami mereka sebagai sosok yang hanya ingin pulang dan ingin tenang, tidak lebih. Mereka sebenarnya tidak ingin terus berada di dunia ini, dan berkeliaran di lokasi-lokasi ketika mereka masih hidup. Mereka tidak menginginkan itu. Soal manusia yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Menurutku itu pun karena ulah manusia itu sendiri yang mengusik dan mengganggu mereka. Seharusnya mereka bisa pergi dengan tenang, tetapi mereka belum bisa pergi karena masih terikat dengan kerabat yang masih hidup, atau yang belum ikhlas dengan kepergiannya. Belum lagi masalah-masalah yang mereka hadapi dan memang belum selesai semasa mereka hidup dulu. Aku bahkan malah merasa kasihan terhadap mereka.
Sisi lain kehidupan mereka pun menjadi pelajaran berarti bagiku. Aku mulai belajar dari kisah mereka, yang hidup sebelum aku. Aku bahkan berterima kasih kepada penulisnya, yang berhasil mengubah pemikiranku dan menyampaikan pesan moral dari mereka kepadaku. Aku bahkan tidak perlu meminta untuk bisa melihat mereka. Aku cukup mendengar, membaca dan menyimpulkannya, dari cerita. Ya, karena aku mungkin tidak akan pernah siap untuk itu. Tidak akan pernah siap jika aku harus mengalami kejadian sama seperti yang dialami oleh penulis novel tersebut.
Aku pun mendapatkan pelajaran lain, bahwa Tuhan itu Maha Asik, selalu menuntun anak-anakNya dengan cara yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Seperti halnya penulis  novel yang kubaca itu, yang mungkin dituntun Tuhan dengan cara yang tidak biasa. Mendapatkan pelajaran dari apa yang kita anggapp sudah tidak hidup lagi. Padahal nyatanya mereka ada. Apa salahnya kita mulai lebih mendekatkan diri kepadaNya agar diberikan kemampuan untuk lebih bijaksana dalam menyikapi kehidupan? Kehidupan memang tidak pernah lepas dari kesalahan. Kehidupan memang tidak selalu lurus, dan sangat penuh dengan liku. Kehidupan memang tidak semulus bayangan kita, tapi alangkah jika kita selalu belajar dari pengalaman pribadi dan orang lain untuk membuat rangka masa depan yang lebih baik. Agar pada saatnya hidup kita harus berakhir, kita bisa tenang karena memang tugas kita di dunia ini sudah selesai.




Nama               : Eljuno T. A. Kasih
Twitter                        : @eljuno_
Facebook         : Eljuno Kasih (facebook.com/RevrentCrew.UNO)
Blog                : eljunoak.wordpress.com
author

About Author:

"I'm just a weirdo who live between two worlds".
Follow her on Twitter and facebook


Back To Top